![]() |
YANE YOLANDA |
Bukittinggi, TriargaNews - Selama ini, kita lebih akrab dengan istilah "perceraian" dalam konteks hubungan rumah tangga. Namun, seiring berkembangnya demokrasi, muncul fenomena baru: perceraian dalam kepemimpinan. Fenomena ini bisa terjadi antara gubernur dan wakil gubernur, wali kota dan wakil wali kota, bahkan presiden dan wakil presiden. Ini jelas menyimpang dari esensi demokrasi yang telah dipercayakan dan diamanahkan oleh konstituen.
Fenomena ini bukan lagi rahasia. Dalam konteks budaya Minangkabau, kemolekan sang wakil diibaratkan sebagai "anak daro" (pengantin perempuan) tak lagi menggoda sang "marapulai" (pengantin pria). Hubungan yang awalnya harmonis, kini banyak tersamarkan oleh transformasi media, baik cetak maupun elektronik.
Riak-riak perceraian kepemimpinan lebih sering dipicu oleh benturan kepentingan, tumpang tindih kebijakan, bahkan aksi berlebihan dari salah satu pihak. Konflik juga kerap muncul dalam pembagian porsi kekuasaan, terutama dalam penempatan posisi manajemen menengah dalam pencapaian rencana strategis (Renstra) yang tertuang dalam RPJP dan RPJM.
Ironisnya, perselisihan dalam kepemimpinan secara tidak langsung telah mencederai amanah konstituen.
Ketidakdewasaan dalam berpolitik menjadi salah satu penyebab utama. Karakter kepemimpinan pun beragam, ada yang berorientasi pada pencapaian mutlak, ada pula yang sekadar menjalankan tugas. Di sinilah duet kepemimpinan diuji: apakah mampu mengimplementasikan dan mengaktualisasikan kekuatan bersama, atau justru terjebak dalam kepentingan sesaat yang merusak bahtera kepemimpinan.
Sungguh menyedihkan jika perselisihan kepemimpinan terjadi dalam pemerintahan. Seperti pepatah Minang, "Jiko urang gaek alah ba bala, anak-anak nan kamanangguangkan akibaik" jika orang tua sudah berselisih, anak-anak pun akan terkena dampaknya.
Popularitas dan elektabilitas pemimpin akan menurun, dan citra kepemimpinan pun tercoreng. Ini sangat merugikan, terutama bagi pemimpin yang merupakan putra daerah. Hubungan silaturahmi yang telah terjalin sebelum masa kepemimpinan bisa rusak, dan dampaknya meluas hingga ke keluarga besar masing-masing pihak, termasuk tim sukses dan pejabat eselon.
Kompleksitas ini diperparah oleh oknum yang "gila jabatan"—bekerja bukan untuk mengabdi, melainkan demi kepentingan pribadi, lobi-lobi tingkat tinggi, balas jasa, balas budi, atau hubungan kekerabatan. Bahkan, ada pula "kerah putih" yang menitipkan nama untuk menduduki jabatan tertentu.
Tendensi kepemimpinan semacam ini sangat berisiko dan berdampak luas terhadap integritas kepemimpinan.
Masyarakat sebagai konstituen bisa merasa tidak puas dan gagal merasakan manfaat dari duet kepemimpinan. Jika bibit konflik sudah muncul, maka cita-cita luhur untuk membangun daerah menjadi lebih baik akan tertunda. Yang tersisa hanyalah konsep pembangunan yang tidak terstruktur, baik secara fisik maupun nonfisik.
Namun, saya yakin dan percaya bahwa Bukittinggi memiliki duet pemimpin yang harmonis. Mari kita, masyarakat Bukittinggi, berdoa kepada Allah SWT agar dijauhkan dari perselisihan yang berujung pada perceraian kepemimpinan seperti yang terjadi di daerah lain. Semoga keharmonisan dan kehangatan dalam keluarga besar kepemimpinan tetap terjaga.
Editor: F. Malin Parmato
Komentar0