MASJID RAYA BINGKUDU CANDUANG
Masjid Raya Bingkudu kebanggaan masyarakat Minangkabau yang terletak di Jorong Bingkudu, V Suku Candung Bawah, kenagarian Canduang Koto Laweh ini adalah tempat disambutnya ratusan perantau Canduang yang tergabung dalam paguyuban IKCK (Ikatan Keluarga Canduang Koto Laweh) oleh Camat, wali nagari, wali-wali jorong dan tokoh-tokoh mayarakat Canduang pada sore Ahad (28/08) ini.
Masjid ini dibangun pada abad ke-18 tepatnya tahun 1813 M yang diprakarsai oleh tokoh-tokoh tujuh nagari (kecamatan Canduang sekarang). Ketujuh nagari itu adalah Canduang, Koto Laweh, Lasi Tuo, Lasi Mudo, Pasanehan, Bukik dan Batabuah. Untuk mencapai masjid ini dari kota Bukittinggi bisa melewat Baso, disimpang Canduang belok arah ke kanan. Dari Bukittinggi berjarak 13 Km dengan lama perjalanan 15- 20 menit. Kalau dari Simpang Canduang berjarak 3 Km dengan lama perjalanan berkisar 5 - 8 menit.

Atap masjid ini dari awal berundak tiga, terbuat dari susunan ijuk. Bangunan ini saat didirikan memakai sistem pasak. Artinya tidak satupun dari komponen penyusun masjid ini yang dilekatkan satu sama lain dengan menggunakan paku. Lampu-lampu minyak yang yang terpajang pada setiap sudut masjid rata-rata juga sudah menjadi barang antik, karena telah berumur ratusan tahun.
Pekarangan di sekitar masjid cukup indah. Terdapat di sini tiga kolam ikan, serta satu kolam besar untuk berwudhuk membuat kesan masjid yang cukup jauh dari pemukiman penduduk itu semakin alami. Dahulunya air tabek ini digunakan untuk berwudhuk dialirkan dengan bambu sepanjang 175 meter dari mata air yang diambil dari tabek (tanah) nya Keturunan Datuak Tan Tuah dari suku Selayan di Lurah. Namun sekarang untuk memperlancar aliran air, salurannya diganti dengan pipa besi.
Selain itu, pada pekarangan masjid juga terdapat sebuah menara dengan ketinggian 30 meter, dengan tangga naik berbentuk spiral. Seperti kebanyakan masjid yang ada. Di atas menara ini dulu terdapat Cenang (Gong) Besar yang dibunyikan setiap datang waktu shalat, menara ini juga digunakan untuk mengumandangkan azan, terutama saat belum ada pengeras suara. Di dekat jalan ke arah menara terdapat sebuah Tabuah (beduk) Besar yang di bunyikan setiap sebelum azan.
Pada tahun 1957, atap masjid yang terbuat dari ijuk, diganti masyarakat dengan seng. Itu dilakukan karena ijuk yang yang mengatapi ruangan masjid dari hujan dan panas telah lapuk. Dua tahun kemudian dilakukan renovasi dan pemugaran terhadap bangunan masjid yang lainnya. Pada tahun 1999, masjid ini diserahkan kepada Pemkab Agam, dan ditetapkan sebagai salah satu bangun cagar budaya di Agam. Dua tahun setelah itu, masjid mengalami pemugaran secara keseluruhan. “Atapnya yang dulu seng dikembalikan ke ijuk. Kemudian bagian-bagian yang lapuk diganti dan serta dicat lagi sebagaimana aslinya”.
Seperti sekarang beberapa bagian dari bangunan pasca direnovasi tahun 1992, juga haru mendapat pembenahan lagi. “Warga juga telah melakukan perbaikan, tetapi memang semampunya. Keinginan masyaraakat itu karena ingin masjid ini bisa dinikmati sampai kapanpun sebagai tempat beribadah.” Kondisi perbaikan yang dilakukan masyarakat menjadikan keaslian bangunan awal juga tidak dapat dimungkiri telah berubah. Di lingkungan Masjid terdapat Surau Bulek yang digunakan sebagai tempat Akad Nikah. | CMC-003
---------------------
Sebahagian teks dikutip dari Buya H. Masoed Abidin