Bukittinggi TriargaNews, - Menanggapi pernyataan Wali Kota Bukittinggi, Ramlan Nurmatias, dalam
Rapat Paripurna DPRD Memperingati Hari Jadi Kota Bukittinggi ke 241 Tahun 2025, yang dimuat di media Triarga News pada tanggal (22/12/2025) terkait sengketa tanah Universitas Fort De Kock, selaku Peneliti Pusat Kajian Hukum dan Kebijakan Publik Universitas Fort De Kock, memberikan klarifikasi resmi sebagai berikut;
Saya sangat menyesalkan seorang kepala daerah yang seharusnya menjadi panutan dan mengayomi masyarakat dapat menafsirkan sepihak hasil putusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap dan mengiring opini publik seolah-olah Yayasan Fort De Kock yang menaungi Universitas Fort De Kock adalah musuh yang selalu menghalangi kebijakan pemerintah kota bukittinggi. Padahal Universitas Fort De Kock adalah perwujudan visi dari kota bukittinggi sebagai kota pendidikan dan kesehatan serta peningkatkan ekonomi kerakyatan. Idealnya pemko itu harusnya menjadi mitra strategis bagi Universitas Fort De Kock dengan memberikan dukungan baik secara sarana dan prasarana maupun sumber daya manusia.
Untuk itu agar jelas dan tidak simpang siur serta meresahkan masyarakat atas pernyataan Walikota Bukittinggi Ramlan Nurmatias maka perlu saya berikan pandangan sebagai berikut:
1. Saat Rapat Paripurna DPRD tersebut, Walikota Bukittinggi, Ramlan Nurmatias mengatakan terkait masalah sengketa tanah di Universitas Fort de Kock bahwa Pemko Bukittinggi tidak kalah (dalam hasil putusan pengadilan sebelumnya) karena tidak ada perintah membatalkan AJB (Akta Jual Beli), menyerahkan tanah dan sertipikat.
Saya memberikan pandangan bahwa pernyataan yang diberikan oleh Pak Ramlan tidak sesuai dengan putusan yang telah dikeluarkan dari putusan Pengadilan Negeri sampai Mahkamah Agung. Dalam hal ini dapat dilihat adanya perintah bayar kepada pemko sebagai pemohon kasasi sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) sebagai konsekuensi pihak yang dinyatakan kalah.
Dalam isi putusan itu membuktikan bahwa permasalahan Akta Jual Beli (AJB) yang dimiliki oleh Pemko Bukittinggi yang dikeluarkan oleh Camat sebagai (PPAT Sementara) Tahun 2007, kalah dibandingkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dimiliki oleh Yayasan Fort De Kock Bukittinggi dibuat oleh notaris pada tahun 2005. Maka Ketika 2 produk ini diuji oleh pengadilan dan diputuskan bahwa PPJB Yayasan Fort De Kock adalah sebagai bukti yang mempunyai kekuatan hukum yang sah dan mengikat para pihak. Oleh karena itu AJB yang dibuat oleh Pemko Bukittinggi adalah batal demi hukum. Dalam hal ini telah terjadi adanya itikad tidak baik yang dilakukan oleh pemko dimana pihak pemko telah membeli tanah yang sudah terikat jual beli dengan Yayasan Fort De Kock Bukittinggi.
Hal ini sejalan dengan proses pembelian jual beli tanah sebagaimana yang melekat pada prinsip fundamental dalam kaidah hukum perdata sebagaimana yang termuat dalam pasal 1338 ayat 3 kitab undang-undang hukum perdata yaitu (Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yang mewajibkan setiap perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik).
Selain itu juga diperkuat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 yang mengatur pedoman bagi hakim tentang kriteria pembeli beritikad baik
dalam transaksi tanah agar mendapat perlindungan hukum, menetapkan standar seperti melakukan jual beli sesuai prosedur sah (PPAT). Dalam hal ini perlindungan hukum itu hanya kepada pembeli yang beritikad baik.
2. Masih dalam kesempatan Rapat Paripurna DPRD itu, Walikota Bukittinggi menyampaikan, dalam putusan pengadilan, pemerintah tidak beritikad baik, lalu saya berpikir, karena saya
juga membaca putusan itu. Yang pertama, kalau dibilang kalah saya katakan tidak.
Perlu saya sampaikan dan luruskan jika bunyi amar putusan pengadilan tidaklah hanya sampai disitu. Bunyi amar putusan yang lengkap adalah menyatakan pemerintah kota selaku
Tergugat IV adalah pembeli yang beritikad tidak baik yang mengakibatkan kerugian bagi Yayasan Fort De Kock selaku Penggugat sehingga tidak layak untuk mendapatkan perlindungan secara hukum artinya secara jelas dan terang jika pemko adalah pembeli yang
beritikad tidak baik karena telah membeli objek tanah yang telah terikat jual beli dengan Yayasan Fort De Kock, sehingga apapun bentuk langkah hukum yang pemko lakukan diatas tanah tersebut tidak layak mendapatkan perlindungan secara hukum. Oleh karena itu pemko
berada di posisi yang kalah maka pengadilan melakukan penetapan dan eksekusi dengan memerintahkan para pihak untuk melanjutkan jual beli tanah yang tersisa sehingga Yayasan Fort De Kock pada saat eksekusi telah melakukan pelunasan pembayaran terhadap jual beli tanah yang tersisa tersebut serta telah disaksikan dan ditandatangani oleh Para Termohon
Kasasi termasuk pihak Pemko Bukittinggi itu sendiri.
3. Tambah Ramlan, juga termasuk fasilitas umum yang ada di tanah Fort De Kock itu, diambil Fort De Kock dibangun tanpa izin pemerintah, coba bayangkan, fasum.
Yayasan Fort De kock membangun dengan mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB) induk pada tahun 2011 dan sudah dilakukan proses pemagaran terhadap objek yang akan di bangun maka Yayasan Fort De kock membangun diatas tanah yang berada
dilingkungan tanah Yayasan Fort De Kock. Bangunan itu merupakan bangunan yang menyatu dengan bangunan induk tersebut.
Bangunan itu juga telah dimanfaatkan oleh masyarakat umum dan legislatif maupun eksekutif termasuk Pemko Bukittinggi itu sendiri.
4. Lanjut Walikota Bukittinggi dalam Rapat Paripurna DPRD, bahwa tanah itu bermanfaat untuk dibangun gedung DPRD. Apakah boleh tanah itu dihibahkan, tidak mungkin kepada yayasan bisnis, karena ini aset tidak bergerak.
Yayasan Fort De Kock tidak pernah menghalangi pembangunan gedung DPRD, hal ini dibuktikan sebelum berperkara di pengadilan, bahwa Yayasan Fort De Kock telah menawarkan kepada pemko yang waktu itu masih dijabat oleh Bapak Ramlan. Diantaranya beberapa opsi tukar guling maupun hibah dengan tanah yayasan Fort De Kock yang letak dan nilai ekonomisnya jauh lebih strategis dan lebih bernilai tinggi dibandingkan dengan tanah pemko
itu sendiri. Namun semua itu tidak pernah diterima dengan itikad baik oleh pemko sehingga demi membuktikan kepastian hukum sebagaimana yang disarankan oleh Bapak Ramlan itu sendiri, akhirnya dengan berat hati Yayasan Fort De Kock melakukan gugatan ke pengadilan yang amar putusannya baik pada pengadilan negeri sampai pengadilan tinggi dimenangkan oleh Yayasan Fort De Kock. Meskipun demikian, Yayasan Fort De Kock ingin selalu mendukung pembangunan gedung DPRD, bahkan sebelum diputusnya putusan Mahkamah Agung yang memiliki kekuatan hukum tetap Yayasan Fort De Kock masih tetap menawarkan kepada Pemko Walikota yang waktu itu dipimpin oleh Bapak Erman Safar dalam bentuk alternatif tukar guling atau hibah terhadap tanah tersebut. Namun, semua opsi itu tetap tidak diterima dengan itikad yang baik oleh pemko sehingga
sampailah adanya putusan Mahkamah Agung.
Kemudian pada saat dilakukan Aanmaning (mediasi sebelum eksekusi) juga masih
tetap ditawarkan opsi dalam bentuk alternatif tukar guling atau hibah terhadap tanah tersebut namun tetap juga tidak diterima oleh Pemko Bukittinggi sehingga dengan terpaksa dilakukan proses eksekusi.
Hari ini, walaupun tanah telah dikuasi oleh Yayasan Fort De Kock berdasarkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap, dalam rangka menghormati pemko dan mendukung pembangunan gedung DPRD, dan agar pemko tidak kehilangan aset dengan
lapang dada Yayasan Fort De Kock masih juga menawarkan alternatif tukar guling atau hibah. Namun, sampai hari ini juga tidak pernah diterima dengan itikad baik dan seolah-olah yayasan Fort De Kock adalah penghalang dari semua kebijakan itu.
Sejak dahulu hingga saat ini, untuk mendukung Visi Universitas Fort De Kock, mahasiswa didorong untuk berbasis entrepreneur sehingga para lulusan diharapkan mampu mencari pekerjaan dan membuka lapangan pekerjaan. Pada saat ini Universitas Fort De Kock memiliki Prodi Bisnis Digital,
Kewirausahaan, dan Pariwasata maka untuk mengasah kompetensi dari 3 Prodi tersebut. Yayasan juga memiliki Hall, Lapangan Futsal, Lapangan Volly, Mini Teater, Cafe, Guest House yang akan digunakan sebagai labor mahasiswa dan fasilitas ini digunakan juga oleh masyarakat umum dan pihak pemko sendiri seperti pemanfaatan lapangan volly dalam rangka kegiatan
Hari Kesehatan Nasional (HKN) di Bukittinggi. Dan ini tidak hanya di Universitas Fort De Kock saja bahkan disetiap perguruan tinggi lain juga seperti itu. Sebagai contoh di Kota Padang ada Hotel Universitas Negeri Padang (UNP) yang mempunyai prodi pariwisata.
Maka dari semua permasalahan ini Yayasan Fort De Kock telah menentukan sikap;
1. Penyelesaian administrasi SHM 655 dengan Pemko Bukittinggi tidak menjadi skala prioritas lagi karena fisiknya sudah dikuasi oleh Yayasan Fort De Kock berdasarkan Putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap,
2. Memprioritaskan pengembangan kampus diatas tanah yang sudah dibeli lebih ± 2 Hektar sebagai bentuk komitmen dan tanggung jawab moral terhadap dunia pendidikan khususnya di Kota Bukittinggi.
Penulis : Yulhardi. S, S.H, M.H.
(Peneliti Pusat Kajian Hukum dan Kebijakan Publik Universitas
Fort De Kock Bukittinggi)

Komentar0