Firdaus, M.K
Wali Nagari Bukik Batabuah, Ketua DPD KNPI Kota Bukittinggi, Tokoh Muda Minang
Agam, Bukik Batabuah, Triarganews– Dalam falsafah Minangkabau telah terang terpatri kalimat sakral: “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.” Ungkapan ini bukan sekadar pepatah, melainkan fondasi kehidupan orang Minang yang menegaskan bahwa adat tidak boleh tercerabut dari agama, dan agama berpedoman kepada Kitabullah.
Di tengah dinamika hari ini, peran seorang Pangulu atau Datuak kembali mendapat sorotan. Gelar itu bukan sekadar hiasan silsilah, apalagi hanya kebanggaan simbolik. Ia adalah amanah besar yang dipikul demi marwah kaum, keadilan, dan pertanggungjawaban di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Pangulu: Lambang Keadilan
Seorang Pangulu dituntut hadir sebagai sosok adil, bijak, dan berilmu. Adat telah memberi pedoman:
“Maukua samo panjang, manimbang samo barek.
Indak kuniang dek karano kunik, indak lamak dek karano santan.”
Artinya, keputusan tidak boleh lahir dari hawa nafsu, dan kebijakan tidak tunduk pada kepentingan pribadi. Pangulu sejati tidak memutuskan karena suka, tidak menolak karena benci.
Namun, kenyataan yang muncul kerap jauh dari nilai ini. Masalah kusut tidak diurai, malah dipatahkan. Persoalan busuk bukan diselesaikan, malah dibuang. Bahkan aib yang seharusnya ditutup rapat justru diumbar, melukai martabat kaum.
Kembali ke Jati Diri
Karena itu, jelaslah seorang Pangulu tidak cukup hanya memahami ranji dan garis keturunan. Ia wajib menguasai adat sekaligus mendalami agama. Tanpa keduanya, Pangulu akan kehilangan arah. Namun dengan keduanya, insyaAllah ia akan menjadi pemimpin yang adil, arif, dan diridhai Allah.
Pangulu nan bijak adalah mereka yang mampu menyatukan adat jo agamo, menjaga marwah kaumnya, sekaligus menuntun anak kemenakan agar tetap berada di jalan kebenaran.
Oleh: Firdaus MK
Editor:Lindafang
Komentar0