TUMpTSOoTfrlGUY6GSr6GSW7BY==

Opini - Bantuan Banjir Pesisir Selatan: Bencana Surut Membawa Hak Warga

Sumber photo: padang.pikiran-rakyat

Penulis: Dayat (Anak Nagari Pessel
Penerbit: TriargaNews.com

Banjir dan longsor dahsyat yang melanda sejumlah kecamatan di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, pada 8 Maret 2024 lalu, memang telah lama surut. Namun, luka yang ditinggalkan bencana itu belum benar-benar kering. Ribuan rumah hancur, lahan pertanian rusak, dan mata pencaharian warga hilang dalam sekejap. Di tengah upaya masyarakat untuk bangkit, ada ironi yang lebih menyakitkan: bantuan yang dijanjikan pemerintah tak kunjung merata sampai ke tangan korban.

Hingga hari ini, banyak warga terdampak masih menunggu dalam ketidakpastian. Sebagian menerima bantuan lebih dulu, sementara yang lain hanya bisa berharap tanpa kepastian. Pertanyaan besar pun menyeruak: di mana letak keadilan? Apakah distribusi bantuan tersendat oleh lemahnya pendataan dan koordinasi, atau justru karena minimnya transparansi yang membuka celah pilih kasih?

Data resmi dari weblog Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan (rilis 5 April 2024)  mencatat dahsyatnya kerugian: 29 korban jiwa (25 ditemukan meninggal, 4 masih hilang), lebih dari 70 ribu hektar lahan terdampak, dengan kerugian di sektor pangan mencapai Rp31 miliar dan di sektor peternakan Rp41 miliar lebih. Angka-angka itu menggambarkan betapa besarnya beban masyarakat. Tetapi, setelah berbulan-bulan berlalu, bantuan nyata masih seperti bayang-bayang: ada dalam wacana, tapi sulit dirasakan.

Air dan lumpur memang sudah lama surut, namun penderitaan warga justru semakin dalam. Lahan tempat bertanam benih kehidupan yang dulunya subur kini rusak, tak lagi bisa ditanami. Kesempatan untuk kembali menanam benih kehidupan seakan tertunda, sebab uluran tangan pemerintah yang diharapkan tak kunjung tiba.

Meski pemerintah telah mengumumkan sejumlah skema bantuan, distribusi di lapangan belum sepenuhnya merata. Sebagian warga menerima lebih dulu, sementara yang lain masih menunggu tanpa kepastian. Hal ini memunculkan pertanyaan kritis: apakah kendalanya terdapat pada lemahnya pendataan, koordinasi antarinstansi, atau justru minimnya transparansi yang membuka ruang praktik pilih kasih?

Bantuan bencana bukan sekadar formalitas laporan atau angka dalam rapat pejabat. Ia adalah hak dasar korban yang harus dipenuhi dengan cepat, tepat, dan merata .Jika sistem distribusi tak segera dibenahi, maka keadilan akan terus terperangkap sebagai slogan kosong.

Jika pemerintah gagal membenahi sistem distribusi bantuan, maka bencana yang sebenarnya bukanlah banjir, melainkan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap negara. Rakyat sudah cukup menjadi korban alam—jangan biarkan mereka juga menjadi korban birokrasi. Bantuan seharusnya dapat menjadi obat luka bukan menjadi sebuah pertanyaan baru , “Di mana keadilan berdiri?”

Komentar1

  1. menunggu tanpa kepastian sangatlah menyakitkan,apalagi bagi warga yang minim mata pencaharian

    BalasHapus

Type above and press Enter to search.