TUMpTSOoTfrlGUY6GSr6GSW7BY==

Menakar Janji Kampanye, Mengawal Harapan Masyarakat


Foto siluet (Google)


Janji Politik: Kontrak Moral yang Harus Ditagih

Opini oleh d’Ane


Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Pemilihan kepala negara, kepala daerah, hingga anggota legislatif yang berlangsung beberapa waktu lalu di Indonesia telah usai. Namun, pesta demokrasi tersebut meninggalkan ekspektasi besar dari masyarakat: realisasi janji-janji politik yang dilontarkan selama masa kampanye. Janji politik yang biasanya terdengar aspiratif dan idealis kini dihadapkan pada tantangan nyata: diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang teknokratis, terukur, dan memberi manfaat langsung.


Pilpres, Pilkada, maupun Pileg bukan sekadar ajang kontestasi politik. Lebih dari itu, ia adalah awal dari sebuah komitmen. Kandidat terpilih memikul tanggung jawab moral sekaligus administratif untuk memastikan janji-janji politik tidak berhenti sebagai dokumen kosong, melainkan benar-benar menghadirkan perubahan nyata bagi masyarakat, baik di tingkat pusat maupun daerah.


Janji kampanye memang berfungsi membangun citra positif dan menarik simpati pemilih. Akan tetapi, seringkali janji-janji itu disampaikan lebih untuk meraih suara daripada mempertimbangkan apakah benar-benar bisa diwujudkan setelah terpilih. Akibatnya, masyarakat kerap bertanya-tanya: mengapa janji kampanye begitu sulit diwujudkan?


Ada banyak faktor yang memengaruhi hal tersebut. Bisa jadi janji tidak sesuai dengan realitas anggaran, terhambat birokrasi yang kompleks, atau kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, dinamika politik pasca pemilihan di berbagai wilayah Indonesia juga tak kalah rumit. Pemimpin baru seringkali dihadapkan pada beragam kepentingan partai maupun oposisi, sehingga sulit untuk melaksanakan seluruh janji yang pernah dilontarkan.


Opini publik terhadap janji kampanye pun beragam. Ada yang skeptis karena pengalaman masa lalu, namun ada pula yang tetap berharap agar janji-janji itu diwujudkan. Walaupun secara hukum janji politik sulit dituntut, masyarakat memiliki hak moral untuk menagihnya. Bentuknya bisa berupa pengawasan publik, diskusi terbuka, hingga memanfaatkan media massa sebagai ruang kontrol sosial.


Dalam negara demokrasi yang sehat, janji kampanye bukan hanya alat promosi kekuasaan, melainkan kontrak moral yang bisa ditagih. Bila semua elemen bangsa bersinergi—baik masyarakat, media, maupun lembaga negara—dalam memperkuat literasi politik, akuntabilitas pemimpin, serta regulasi yang tegas, maka janji politik dapat benar-benar menjadi pondasi perubahan, bukan sekadar puisi menjelang kotak suara.


Sebaliknya, kegagalan menerjemahkan janji politik menjadi program konkret akan berdampak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Karena itu, penting bagi pemimpin terpilih untuk memastikan setiap program yang dijalankan selaras dengan janji kampanye, sekaligus memberi manfaat nyata.


Pada akhirnya, dunia politik memang penuh janji. Namun, masyarakat tidak boleh menjadi objek yang diperdaya. Kita sebagai pemilih harus cerdas menilai, apakah janji yang dilontarkan realistis dan bisa dipertanggungjawabkan. Dengan begitu, demokrasi tidak berhenti di bilik suara, melainkan benar-benar menjadi jalan perubahan. (**)


Editor : Kevin


 

Komentar0

Type above and press Enter to search.