TUMpTSOoTfrlGUY6GSr6GSW7BY==

*Ketika Sumatra Diuji, Kita Belajar Tentang Manusia dan Makna Kesabaran*


 

TriargaNews, - Sumatra kembali menangis. Dalam beberapa hari terakhir, tanah yang selama ini kita banggakan karena keindahan alamnya justru berubah menjadi pengingat betapa rapuhnya hidup. Gempa yang menggoyang rumah-rumah sederhana, banjir bandang yang meluruhkan dinding dusun, hingga longsor yang menutup jalan utama seperti menegaskan satu hal: alam tak pernah benar-benar tenang.

Namun setiap bencana selalu membawa cerita. Di balik suara sirene, air mata kehilangan, dan kabut debu reruntuhan, terdapat sisi manusia yang justru semakin bersinar. Ia muncul dalam bentuk tangan-tangan yang saling menguatkan, dalam suara lirih penuh syukur, dan dalam langkah-langkah kecil penuh keberanian.

Di sebuah tenda darurat, seorang ibu dengan pakaian yang masih basah oleh banjir berkata pelan, “Rumah kami habis… tapi keluarga selamat. Itu cukup.” Kalimat yang tampak sederhana, tetapi dari wajahnya, kita tahu: kesedihan itu nyata. Namun syukurnya jauh lebih besar. Itulah Sumatra, tanah yang tidak hanya melahirkan keindahan, tetapi juga ketabahan.

Di posko lain, para relawan bekerja dalam sunyi. Ada yang tak tidur dua malam, ada yang cuacanya tak bersahabat tetapi tetap memanggul logistik ke lokasi terpencil. Anak-anak muda yang biasanya sibuk dengan dunia digital, kini mengangkut air bersih dan membawa selimut. Para ibu memasak seadanya, mengaduk periuk besar untuk puluhan korban, seolah tenaga mereka tak pernah ada habisnya.

Dalam tradisi dakwah, bencana bukan sekadar peringatan, tapi ujian untuk menakar keteguhan. Al-Qur’an telah mengisyaratkan bahwa manusia akan diuji dengan kehilangan, rasa takut, dan kesempitan. Tetapi ayat itu juga mengandung kabar gembira, bahwa mereka yang bersabar tidak pernah dibiarkan sendiri. Sabar bukan berarti pasrah; sabar berarti tetap bergerak meski beban terasa mematahkan.

Dan begitulah yang kita lihat di lapangan. Masyarakat tidak sekadar menunggu uluran tangan. Mereka bergotong-royong mengangkat batu, membersihkan tanah berlumpur, menyelamatkan apa pun yang masih mungkin dipakai. Seorang bapak di Nagari yang terdampak berkata sambil menata kembali papan-papan rumahnya, “Kalau kami tidak bangkit sendiri, siapa yang akan mulai?” Kalimat itu bukan keluhan, melainkan tekad.

Bencana juga membuka mata kita bahwa tanggung jawab kemanusiaan tak boleh dipikul oleh korban saja. Pemerintah punya tugas besar dalam mitigasi dan respon cepat. Namun masyarakat luas, kampus, lembaga sosial, komunitas, dan media—pun memegang peran penting dalam edukasi dan solidaritas. Memberi bantuan bukan hanya empati, tapi juga ibadah. Menghibur korban bukan sekadar kata-kata manis, tapi energi untuk menjaga mereka tetap kuat.

Bagi banyak orang, bencana mungkin hanya berita. Tetapi bagi mereka yang terjebak di dalamnya, itu adalah malam panjang yang tak mudah dilupakan. Dan di situlah nilai kemanusiaan diuji, bukan pada saat kita aman, tetapi pada saat saudara kita ditimpa musibah.

Sumatra mungkin sedang diuji, tetapi manusia-manusia di dalamnya sedang menunjukkan sesuatu yang jauh lebih besar: bahwa luka bisa dikeringkan, bahwa tangan-tangan yang merangkul selalu muncul di saat paling gelap, bahwa setiap reruntuhan bisa menjadi pondasi baru untuk bangkit.

Di antara tangis, ada harapan. Di antara lumpur, ada tekad. Di antara kehancuran, ada kesabaran yang tumbuh menjadi kekuatan.

Karena setiap bencana, sesungguhnya, selalu menyisakan satu hal: manusia yang tak pernah berhenti belajar untuk bertahan, saling menguatkan, dan percaya bahwa badai sebesar apa pun pada akhirnya akan memunculkan cahaya.


Pewarta : Halimah Tusadiah Napitupulu

Editor : Elly

Komentar0

Type above and press Enter to search.